e3ec01204753cc1d1e169a0ba32b0968
Thalasshopile

Matahari terbit dari ufuk timur. Ini bukan jam-jamnya sunrise muncul dan laut terlihat aesthetic, setidaknya matahari masih bersahabat dan tidak terik. Masih sangat sehat dan favorit para turis untuk berjemur.

Hari ketiga di Byron Bay, Zetta Rose melakukan hal yang sama. Setelah melakukan olahraga singkat dan membersih kan diri, ia buru-buru pergi keluar rumah. Kembali menuju tempat yang selalu ia kunjungi sejak pertama kali menginjakan kaki di Byro Bay.
Mengenakan kemeja putih dan celana pendek yang menanpakkan kaki jenjang nan mulus, Zetta melangkakhkan kakinya.
Oh hari ini, Zetta mengenakan sendalnya, tak lupa surai indahnya ia kuncir kuda asal, menyisakan beberapa anak rambut yang melambai bermainan dengan angin.
Obsidian coklatnya bertemu dengan sosok Yolan Whinter. Pemuda itu baru saja turun dari kursi observasi penjaga pantai. Zetta tertegun sebentar, apa Yolan seorang penjaga pantai?.
Beberapa hari di Byro Bay, Zetta sama sekali tidak mengetahui profesi pria yang bernama Yolan Whinter itu.

Yang ia tahu, ia sering duduk disini, seorang pengagum laut yang selalu memuja si biru dari atas pasir putih. Pemuda yang selalu memakai celana selutut itu, memang selalu duduk bersandar di kursi penjaga itu, tapi tak sedikit pun terlintas di benak Zetta kalau Yolan berprofesi tersebut.

“Kau datang lagi.” sambutnya senang.
“Tentu, aku tidak punya teman lagu selain kamu”
“Really?” Yolan kini mengahadap Zetta, “You look like a sociallite girl” . Zetta menggaruk tengkuknya kikuk. Jelas, Zetta seorang model tidak akan jauh dari kata sosiallita. Tapi yah, kehidupannya diKorea Selatan dan di Australia jelas berbeda.
Zetta punya teman sih sebenarnya, Vanessa Yuvica. Gadis itu sedang ada job yang tidak bisa ditinggal. Mungkin sekitar dua atau tiga hari, ia akan berkunjung. Setidaknya itu janji Vanessa yang Zetta ingat.
“Sir! Sir!” suara anak kecil mengalihkan atensi mereka. Perempuan kecil berambut pirang itu datang mendekat. Ia memegang satu cup berisi beberapa tusuk makanan, dan tangannya yang lain memegang satu tusuk sosis bakar.
“Yes, sweety?” Yolan menumpu tangan diatas kedua lututnya. Anak kecil bermata biru terdiam, menatap merek bergantian. Pipi mulus nan tembam itu membuat Zetta gemas. Terlebih swim suit yang di kenakannya benar-benar membuatnya lucu. Rasanya mau Zetta bawa pulang.
“For you.” ,tiba tiba saja, anak kecil itu memberukan tusukan sosis kepada Yolan. Pria itu tersenyum lembut, senyum seorang bapak bisa dibilang.
“Thank you, pretty.” suara berat itu mendukung imajinasi Zetta, Yolan dan anak itu bercengkerama seperti keluarga. Duh, membayangkan apa sih?.

“Bonjour!” suara berat itu menyambut hangat kedatangan Zetta yang baru saja datang pagi hari ini.
“Tiba-tiba berasa di Prancis.” sahut gadis itu membuat Yolan tertawa kecil. Cuaca pagi ini sedikit berangin, tidak berbahaya justru menambah kesan sejuk. Yolan menghampiri Gadis Rose itu. Seperti kemarin, Yolan berpenampilan sama, tak berubah, hanya baju dalam dan celana pendek yang biasa ia kenakan berganti warna.
Dengan penuh rasa penasaran, Zetta bertanya, “Kamu tidak pernah mengganti kemejamu. Aku baru tahu penjaga pantai punya seragam.” . Yolan tertegun, ia kemudian melihat tubuhnya sendiri, dan tersenyum. “Laut menyukainya.” . Zetta menautkan alis. Kata ‘laut’ yang diucapkan Yolan benar-benar ambigu. Zetta yakin, inu bukan cerita atau legenda menyeramkan tentang laut. Senyum pahit yang terukir di wajah Yolan menggambarkan ada makna lain dari ‘laut’.
“Yolan, kenapa kamu menyukai laut?”
“Kamu sudah menyakan itu kemarin.”. Zetta menunduk, menggerakkan layaknya seorang yang tengah gugup memohon sesuatu dengan bersikap manis. Padahal bagi Yolan, tidak perlu seperti itupun sudah manis.
“Kamu tahu kenapa samudera sungguh dalam?” Zetta melihat Yolan, menunggu jawaban luar biasa dari Yolan Whinter.
“Sebab mereka menyimpan ceritamu rapat-rapat. Tak ada satupun kisah manusia yang ia buang dan lenyapkan” Yolan menjawab pertanyaan itu. Mendengar itu Zetta mengulum senyum. Tunggunya sungguh puas mendengar kalimat luar biasa itu. “Laut adalah teman yang baik, ya?” Zetta bertanya kepada Yolan.
“Kenapa begitu?” Pria ber-freckless itu sedikit terkejut dengan penuturan Zetta. Gadis itu bukanlah pengagum samudera akut seperti dirinya. “Karena laut sama seperti kamu”. Felix tertegun, tak mampu berkata apapun. Sejak sekian lama, ia mendengar kalimat yang berpacu dengan tempo yang semakin cepat.
“Tolong fotokan aku.” Zetta mengeluarkan benda pipih itu, menyerahkannnya paksa pada Yolan dan berlari menghampiri bibir pantai yang menjadu tempat bermain deburan ombak kecil.
Yolan mengarahkan ponsel hitam itu, bersiap untuk membidik gambar Zetta yang sudah berpose. Melalui layar gawai itu, ia menatao pahatan indah karya Tuhan.
Gadis itu membelakangi matahari terbit, siluet indah dari tubuh ramping itu sangat patut untuk dikagumi. Kaki jenjang yang mulus berpijak indah diatas butiran pasir putih yang halus. Tubuh yang kecil itu bergaya layaknya seorang model professional. Meskipun baju putih bermodel sabrina itu terlihat sedikit oversize, Yolan dapat menebak meskipun Gadis itu memiliki pinggang yang ramping, beberapa bagian laun cukup berisi.
Angin yang berhembus tenang membuat surai panjang bergelombang itu menaru gemulai. Yolan takjub akan hawa yang entah sejak kapan mengisi harinya beberapa waktu belakangan. Tak lupa, view bahari yang saling berlarian tenang menambah keindahan potret yang sedang ia tangkap.
Diam-diam, Pemuda Whinter itu mengulum senyum. Sangat tipis yang dapat dipastikan tidak akan terlihat dari netra legam sang gadis.
“Coba lihat!” Zetta berlari kecil menghampiri Yolan yang masih terdian ditempatnya. Bahkan sampai ia merebut ponsel itu kembali, Ia tak sadar kalau sedang dioerhatikan. Fojusnya tertuju pada gambar diri yang baru saja pemuda itu ambil. Bibir tipis itu sedikit bergumam, memuji potert itu kalau terlihat aesthetic, sesekali berdecak cemberut kalau ombak yang menjadi katar belakang sedikit kabur karen tak bisa diam. Gerek-gerik itu membuat Yolan lagi-lagu tersenyum gemas, senyum yang tudan ajab pernah Gadis itu lihat.

—Thalasophile—

Senja mulai nampak, burung-burung mulai terlihat terbang bebas, mengejar sinar sang surya yang sebentar lagi tenggelam. Benar, cuaca saat inu tidak busa diprediksi . Padahal tadi siang agak sedikit berawan, namun sekarang, nampaknya air tersebut agak lelah.
Disinilah Zetta dan Yolan, duduk di pesisir oantai, membiarkan omba sesekali membasahi kaki, festival masih diadakan. Yolan bilang, itu akan selesai setelah matahri terbenam. Sebab, di musim seperti ini, pasang laut juga kurang stabil.
“How was your day?” tanya Yolan membuat Zetta menoleh. Sepanjang hari ini Yolan bersamanya, untuk apa dia menanyam hal seperti itu?
“Kenapa?”
“Cuma ingin tahu perasaanmu saja,” jawa Yolan dengan suara beratnya. Zetta mengangguk paham. Sesekali ia membenarjan rambutnya yang menari bersama angin.
“Hari ini sungguh luar biasa. Aku nelum pernah pergi ke festival ini sebelumnya ,” ucap Zetta tanpa melunturkan senyum bahagianya.
Lawan bicaranya itu ikut tersenyum,
“Glad to knkw that”
“Thanks, You make me do something I’ve never done”.
“You too.”
Zetta menautkan alisnya bingung, “Why? I didn’t do you everything.” Yolan tak langsung menjawab. Kepalanya menunduk. Auranya menunjukkan kalau ia sedang bersiap mengatakan sesuatu. Ia kemudian menghamburkan pandangannya ke bahari.
“Kamu benar. Aku terjebak dalam lautan yang aku buat sendiri. Aku pikir aku yang berenang dipermukaan dan memantaunya. Ternyata, ajy yang tenggelam di dalamnya. Laut yang selama ini mengitariku.” Pemuda Whinter itu menoleh kearah si gadis. Dua pasang netra itu bertemu, menatap teduh, saling mencari kenyamanan di dalam sana, “Believe me not, I’ve been diving to you, in this short time. I wanna make the new ocean with you.”
Zetta sedikit tersentak. Tak sedikitpun ia menyangka akan mendapat pengakuan seperti ini. Jantungnya berdegup cepat, namun ia tidak lelah. Darahnya berdesir cepat, membuat buku kuduknya sedikit meremang. Suara berat itu benar-benar merayu hati. Rungunya tengah bersorak gembira akan belaian baritone itu.
Yolan tidak sembarang omong. Neyra itu, memancarkan gelombang penuh kejujuran.
Zetta tersenyum, sebelum menjawab, “Take me to your voyage, captain.”
Mata Pemuda Whinter itu sedikit melebar. Semoat terlintas bahwa hari ini ia akan ditolak atau tergantung, mengingat kurun waktu mengenal yang singkat. Zetta membenarkan ucapan ayahnya, Love knows no time.

… Waktu berlalu begitu cepat, tidak disangka sudah dihari ini…

“Morning, dad, mom!” Zetta baru saha keluar dari kamarya.
“Morning, hiney! Have a breakfeast!” Perintah sang ibu, yang tengah berkutat dengan cucian piringnya. Zetta cuma tersenyum sebagai balasan. Ia segera duduk di meja makan, mengambil dua lembar penekuk, dan saus jeruk segar.
Sepertinya, orang sudah sarapan terlebih dahulu. Buktinya, sang ibu dan sang ayah tengah dudum bersantai di depan layar kaca dan secangjur kopi hangat.
Zetta menyantao makanannya dengan tenang, setelah meneguk habis teh hangatnya, ia segera berpamitan.
“Kamu mau kemana sepagi ini?”
“Mau kemana lagi?” Zetta memberikan cengiran khasnya, membuat sang ayah tersenyum penuh arti. “Aku akan kembali sebelum makan siang . Love yo, Dad.”
Ia berjalan menyusuri pantai, cuaca agak mendung, namun ia berharap, itu tidak akan menghalangi rencananya dengan Yolan hari ini. Beberapa saat kemudian, ia menghentikan langkahnya sejenak mendapati kerumunan orang cukup ramai di depan sana.
Dirumah Zetta
Nyonya Kim menghampiri suaminya yang masih diruang keluarga. Suara tarikan napas terkejut memenuhi ruangan. Nyonya Kim menutup mulutnya dengan kedua tangan, tak kuasa mendapatai informasi yang didapat dari program tv pagi

‘BREAKING NEWS!
SEORANG PEMUDA, DIKETAHUI PENJAGA PANTAI BYRON BAY, DITEMUKAN TEWAS TERSERET OMBAK!’
-Setiap orang pasti ada masanya, setiap masa ada orangnya, people come and go, accept the fact. Jika kita tidak bisa disatukan, mengapa kita harus dipertemukan? Kita seperti Langit dan Laut yang saling mempunyai jarak yang jauh dan tidak bisa disatukan dan juga tidak bisa dipisahkan-

—THE END—

 

PROFIL PENULIS

Narasi profil penulis 1.
Lahir di Pasuruan , pada tanggal 8 November 2009, Jarwo Subaktiar adalah anak kedua dari pasangan bapak Sugeng Purnomo dan ibu Ummi Kulsum. Penulis merupakan lulusan dari MI Miftahul Anwar Bangil Kabupaten Pasuruan. Saat ini  Bakhtiar  panggilan akrabnya tercatat sebagai siswi di MTsN 1 Pasuruan dan duduk di kelas VIII C.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait

Program Literasi Sekolah

 1. Membaca Nadhom asmaul husnah sebelum KBM 2. Madrasatul Quran 30 menit sebelum KBM 3. Menulis buku untuk guru dan siswa  4. Perpustakaan kelas,  5. Perpustakaan digital 6. Membuat mading madrasah 7. Membuat majalah madrasah 8. Membuat pojok baca  9. Mengikuti program Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) 2022, 2023 10. Menulis melalui web literasi madrasah

Baca selengkapnya...

Prestasi Literasi Sekolah

 1. Menerbitkan buku karya siswa  2. Menerbitkan buku karya guru 3. Menerbitkan majalah madrasah 4. Juara lomba membaca Puisi 5. JUARA 1 LOMBA VIDEO PROFIL MADRASAH Tk. MTs. Se kabupaten 6. JUARA FAVORIT LOMBA VIDEO PROFIL MADRASAH Se kabupaten 7. Juara 2 lomba media pembelajaran Tk. Kabupaten 8. Juara 1 Lomba WEB Literasi Sekolah Tk. 

Baca selengkapnya...